HMI : Kembali ke khittah

|

Oleh : Muhammad Farid

Mantan Ketua Umum HMI Cabang Bandarlampung Komisariat Ekonomi Unila 2002-2003

Sebentar lagi (05/02) HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) genap berusia 62 tahun. Dalam sejarahnya, HMI didirikan dengan maksud sebagai aksi keberpihakan dan kepedulian terhadap rakyat yang tengah dilanda berbagai “gangguan”. Beberapa alasan yang mendorong lahirnya HMI diantaranya adalah karena bangsa Indonesia sedang mengalami kemiskinan ekonomi, politik, pendidikan serta sinkritisme Islam. Sebagai sebuah organisasi pemuda dan mahasiswa, HMI memposisikan dirinya sebagai komponen akademik yang selalu peduli pada masalah kebangsaan. Namun sebagai organisasi yang beridentitaskan Islam, HMI juga berdiri sebagai organisasi yang peduli dan bertugas menegakkan ruh agama. Tugas kebangsaan selalu dikaitkan dengan nilai dan norma keagamaan, sebaliknya misi keagamaan ditujukan untuk kepentingan bangsa. Maksud dan tujuan didirikannya HMI adalah seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar pasal 5 yaitu : “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”.

Dalam sejarah awal berdiri sampai pertengahan tahun 70-an, peran HMI di tengah-tengah gejolak masyarakat Indonesia sangat diakui. HMI-lah yang selalu menjadi pelopor setiap gerak langkah anak bangsa menuju perubahan.

Sebagai sebuah organisasi perkaderan yang menekankan pada kekuatan konsep, ide, nalar, logika dan kreativitas dalam membentuk manusia intelektual dan kritis, HMI dianggap sebagai salah satu organisasi (selain TNI) yang memiliki manajemen perkaderan yang sangat baik. Sebagai sebuah organisasi yang dilahirkan karena respon terhadap kegelisahan yang dialami masyarakat Indonesia, HMI memiliki tugas yang sangat berat yaitu mencetak kader-kader berkualitas, yang mampu berpikir kritis, kreatif serta proaktif terhadap segala fenomena yang tengah melanda masyarakat. HMI bukan organisasi yang menjebakkan diri dalam aktifitas :”kerja bakti” melainkan organisasi yang meletakkan keagungan rasionalitas pada level utama. Penekanan pada kekuatan rasio memiliki konsekuensi logis yaitu setiap kader HMI diwajibkan memiliki tingkat pemikiran yang cerdas. Pemikiran cerdas tidak lahir begitu saja setelah orang masuk organisasi ini, malainkan melalui proses pembelajaran diri baik secara komunal maupun individual. Penggalian pemikiran secara individu adalah bagaimana seorang kader mampu menghabiskan waktunya untuk menelaah, berpikir maupun berkontemplasi ( tafakur dan tadabur) tentang segala macam pengetahuan dengan semangat seorang ilmuan yang kritis dan penuh dengan keingintahuan. Sedangkan kolektivitas, seperti diskursus-diskursus ilmiah, adalah upaya pertukaran pemikiran setiap kader tentang berbagai ide dari hasil pemikirannya dengan kader lain untuk kemudian dipadukan sebagai sebuah kajian baru. Peningkatan intelektualitas melalui proses diskursus ini akan berjalan sangat sinkron dan serasi manakala setiap kader memiliki tingkat pemikiran yang sama-sama kritis. Sebaliknya, ketidakseimbangan kader dalam pola pikir karena ketidakmampuan salah satu pihak dalam menanggapi berbagai masalah akan membuat proses diskursus berjalan timpang dan senjang, apalagi jika setiap kader sama-sama tidak memiliki konsep, akan terjadi kevakuman diskursus ilmiah. Kevakuman diskursus melahirkan orang-orang yang hanya menguasai permasalahn teknis organisasi belaka, tanpa dilandasi nilai-nilai substansi dari organisasi.


Kritik HMI

Tingkat kreatifitas dan independensi kader HMI dewasa ini mendapat sorotan yang sangat tajam sekali. HMI dianggap sudah tidak mampu lagi melahirkan seorang kader intelektual yang berdimensi kebangsaan dan keagamaan, melainkan berorientasi pada kekuasaan. HMI tidak lagi dianggap memiliki sikap kritis yang tinggi dan memiliki kelesuan berpikir kreatif, terjadi kelunturan atau krisis intelektual, degradasi militansi serta selalu tertinggal dalam wacana pergerakan mahasiswa, tertinggal oleh percepatan roda kereta perubahan. Dewasa ini jarang terjadi HMI menjadi penggerak utama atau bergabung dengan buruh, kaum miskin kota dan petani untuk menuntut suatu perubahan. HMI dinilai telah kehilangan kepekaan dan ketajaman rasa terhadap berbagai kegelisahan yang melanda masyarakat bawah. Kegelisahan para kader organisasi ini bukan lagi kegelisahan yang memihak kepada arus bawah melainkan kegelisahan mencari koneksitas guna mempersiapkan karir di masa depan. Konsekuensi logis dari semua itu adalah semakin terjauhkannya HMI dari lingkungan riil masyarakat dan HMI menjadi sebuah organisasi ekslusif, yang menyebabkan masyarakat sungkan mengadukan berbagai masalahnya kepada HMI karena tahu HMI hanya mau mengurusi hal-hal yang sifatnya sangat elitis.

Kecenderungan strategi yang digunakan organisasi HMI dalam memperjuangkan ide-idenya lebih banyak menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural dan dekat dengan kekuasaan bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan oleh organisasi manapun. Tetapi tanpa sebuah strategi yang matang yang didukung oleh kekuatan komitmen organisasi terhadap visi dan misinya, pendekatan ini aka mengkooptasi siapapun yan melakukannya. Setidaknya untuk melakukan pendekatan ini HMI harus memiliki posisi bargaining yan cukup kuat dan solid. Ada lima hal yang harus dimiliki HMI jika ingin tetap melakukan jalur dan pendekatan struktural : Pertama, argumentasi, digunakan untuk meyakinkan konsep yang ditawarkan. Kedua, janji, menunjukkan manfaat dari konsep yang ditawarkan. Ketiga, ancaman, kemampuan untuk menunjukkan akibat buruk dari diabaikannya konsep yang diajukan. Keempat, Imbalan, kemampuan dalam memberikan kebaikan dari dilaksanakannya tawaran yang diberikan. Kelima, penggunaan kekerasan, kemampuan untuk mengerahkan kekuatan yang bersifat memaksa apabila tawaran yang diberikan ditolak. Pertanyaannya, adalah HMI memiliki lima unsur tawar menawar tersebut atau hanya sekedar menggantungkan kekuatan dan kebesaran nama terhadap sejarah masa silam ?

Selain mengendurnya semangat perubahan, HMI juga tengah dilanda kelesuan berfikir kritis kreatif atau krisis intelektual. Agaknya semakin sukar ditemukan kader yang tertarik dan mau berkecimpung aktif dalam suasana intelektual semacam diskursus-diskursus ilmiah. Lebih sulit lagi menemukan kader yang rela menghabiskan waktunya selama berjam-jam berkutat di ruang belajar, perpustakaan bergelut dengan buku. Dengan memudarnya semangat militansi dan budaya berpikir kritis, maka sudah menjadi kewajiban para kader HMI untuk kembali meluruskan langkah HMI pada khittahnya, membentuk insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”, bersifat inklusif dan peduli pada kegelisahan yang dirasakan bangsanya.

Kembali ke Khittah

Tidak ada jalan lain bagi HMI untuk kembali mengulang jaman keemasannya kecuali dengan semangat khittah HMI yaitu semangat keagamaan dan keislaman yang ditopang oleh gerakan-gerakan kemahasiswaan dan kepemudaan dan didasarkan pada moral intelektualitas dalam menjunjung kebenaran. Para kader harus kembali diingatkan bahwa masuk HMI janganlah bertujuan mencari kekuasaan tetapi lebih didasari pada tanggungjawab keagamaan dan kebangsaan. Harus diakui memang, suka atau tidak, banyaknya anggota yang masuk HMI bukan lagi karena alasan peningkatan daya intelektualitas dan kreatifitas berpikir, tetapi lebih karena godaan struktural yang sukses diraih para alumni serta aktivitas lobi politik. Orientasi yang demikian itulah yang menjebak HMI sebagai gerakan moral intelektual menjadi gerakan politik yang mendukung salah satu kelompok tertentu. Sikap seperti ini justru menjadikan harga politik HMI merosot, jauh lebih rendah dari organisasi pergerakan lainnya serta akan tetap tertinggal oleh kereta perjuangan elemen-elemen pergerakan lain. Lobi politik sangat perlu bahkan paling menentukan dalam proses pembuatan keputusan kebijakan. Namun lobi politik yang tanpa dilandasi kekuatan massa hanya akan menjadi kekuatan mengambang yang mudah goyah.

Seperti kritik dekatnya HMI dengan kekuasaan, maka jawabannya adalah HMI tak perlu takut untuk tetap mengkritisi kekuasaan yang ada kendati yang dikritisi adalah abangnya, para alumni HMI. Jika rasa sungkan itu ada, jalan satu-satunya adalah menjauh dari kekuasaan dan mendekatkan diri pada pendekatan kultural yang pada akhirnya nanti membuat HMI kokoh dalam struktural dan kembali diakui perannya di tengah-tengah masyarakat.

Mengantisipasi keinginan kader untuk beraktualisasi diri secara cepat, ada hal-hal yang perlu disiasati dalam aturan atau pedoman perkaderannya tanpa harus melanggar pedoman yang sudah ada. Selain mengikuti jenjang perkaderan formal sesuai pola perkaderan yang ada, HMI harus memperhatikan keinginan aktualisasi pada kader dengan cara membentuk suatu wadah khusus bagi mereka yang memiliki pemikiran-pemikiran yang “nakal” dan kreatif sehingga mereka tetap merasa tertampung dan terwakili pemikirannya dan tidak harus keluar dari HMI.

Gerakan kembali ke khittah berarti HMI ke depan harus lebih menekankan pada pengembangan kulaitas kader. Kader yang hanya berorientasi pada kebenaran belaka. Kader yang hanya berpihak pada norma-norma keislaman dan kebangsaan. Kader yang berdisiplin keilmuan tinggi. Kader yang berani menentang kekuasaan korup meskipun yang berkuasa itu adalah abangnya sendiri. Kader yang berpihak pada kaum mustadh’afin dan kerakyataan. Kader yang berani mengatakan yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil. Jika tidak, maka tunggulah saatnya HMI akan ditinggalkan oleh komunitasnya.

1 Komentar:

Dudi Rustandi mengatakan...

salam kenal...,saya mantan ketua umum HMI Cabang Kabupaten Bandung...

Alexa Rank